Sejak pendidikan menjadi komoditas perdagangan dan
lembaga pendidikan beralih fungsi dari sosial menjadi komersial,
pendidikan—apalagi yang bermutu—semakin jauh dari kelompok miskin. Kian
mahalnya biaya pendidikan membuat keluarga miskin sering harus menyerah
betapapun berprestasinya anak-anak mereka. Bahkan sekadar bermimpi
menyekolahkan anak sampai setingkat SMA saja, mereka tak berani lagi.
Ada anak
lulusan SMP yang berprestasi—bahkan pernah mengikuti olimpiade sains di
daerahnya—terpaksa menjadi TKI. Ada lagi anak yang nekat mengikuti tes dan
diterima di perguruan tinggi negeri, akhirnya mengundurkan diri. Alasannya
sama, tak ada lagi biaya. Di negeri ini ternyata tengah berlangsung proses
pemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu masih terbuka
peluang bagi anak-anak keluarga miskin untuk mewujudkan mimpi. Tidak heran
kalau dulu banyak mobilisasi vertikal lewat pendidikan. Sekarang, biaya jadi
kendala utama. Fenomena tidak biasa terkait kemiskinan dan akses atas
pendidikan kami temukan di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Maybrat.
Di kalangan masyarakat Papua, Maybrat dikenal sebagai
daerah yang warganya banyak menjadi sarjana. Bahkan tidak sedikit pejabat
tinggi di kabupaten lain di Papua berasal dari Maybrat. Padahal, kondisi warga
Maybrat sama miskinnya dengan warga di kabupaten lain. Namun, masyarakat
Maybrat bersemangat tinggi untuk memperoleh pendidikan.
Apa yang membedakan Maybrat dengan masyarakat lain di
Papua? Pertanyaan ini muncul ketika mendata keluarga miskin di kampung-kampung.
Ternyata banyak yang anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Tidak
sedikit anak dari keluarga miskin di daerah ini mampu menyelesaikan pendidikan
tinggi.
Bahkan, banyak pula yang menempuh pendidikan tinggi di
Jawa. Jawaban kami temukan dalam diskusi bersama komunitas-komunitas kampung di
Kabupaten Maybrat. Meski berbeda kadarnya, ada semacam spirit gotong royong
yang berlaku umum dan dipelihara oleh masyarakat kampung di Maybrat. Spirit ini
dalam bahasa setempat disebut ANU BETA TUBAT, yang artinya bersama kami
mengangkat. Spirit yang menyatukan Spirit anu beta tubat menyatukan masyarakat
Maybrat untuk memprioritaskan pendidikan. Ibarat lidi yang bila disatukan sulit
dipatahkan, demikian pula kekuatan spirit ANU BETA TUBAT bagi keluarga-keluarga
miskin di Maybrat.
Betapa pun miskinnya, mereka tidak menyerah dalam
memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka. Berbagai hambatan diatasi bersama.
Spirit ANU BETA TUBAT semakin menguat setelah masyarakat memetik dan merasakan
buahnya. Melihat perubahan positif pada karakter anak-anak mereka yang
mendapatkan pendidikan, para orangtua tidak ragu lagi mengirim anak ke sekolah.
Melihat anak-anak yang berpendidikan mudah memperoleh pekerjaan, masyarakat
berlomba menyekolahkan anak-anaknya. Mereka bergotong royong dan berjibaku
bersama membiayai pendidikan anak. Dulu untuk mengirimkan anak ke sekolah saja
para orangtua harus didorong-dorong. Kini, pendidikan mereka tempatkan sebagai
prioritas dan spirit ANU BETA TUBAT menjadi kekuatan untuk mengatasi berbagai
hambatan. Spirit gotong royong untuk pendidikan itu bisa ditemukan di
kampung-kampung untuk berbagai tingkatan pendidikan.
Di tingkat sekolah dasar, spirit itu mewujud dalam
upaya masyarakat menjaga keberlangsungan pendidikan di kampung mereka. Untuk
membuat guru betah mengajar di kampung, di antaranya mereka bergotong royong
membuatkan kebun, membangun tempat tinggal, dan menyokong bahan makanan bagi
guru yang baru ditempatkan di kampung mereka. Masyarakat juga bergotong royong
membangun atau memperbaiki bangunan sekolah, membantu pengadaan mebel, membayar
gaji guru honorer, membeli buku-buku pelajaran, dan membantu membiayai ujian.
Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, baik SMP atau SMA,
kebanyakan anak di Maybrat harus keluar dari kampungnya dan bersekolah di kota
kecamatan, di kota kabupaten atau di kota provinsi. Mereka tinggal di asrama
atau menumpang pada keluarga-keluarga di kota.
Baru tingkat
SMP saja orangtua sudah harus mengirimkan uang tunai setiap bulan. Padahal, penghasilan
mereka sebagai petani tidaklah menentu. Untuk menghemat biaya, masyarakat
kampung membangun asrama atau rumah tinggal bersama bagi anak-anak yang
bersekolah di kota. Salah satu atau beberapa warga ditunjuk untuk mengurus
asrama dan mengawasi anak-anak dalam belajar. Sistem ”asrama” atau ”rumah
tinggal bersama” ini sangat membantu para orangtua yang tidak memiliki keluarga
di kota. Pada tingkat perguruan tinggi, anu beta tubat diwujudkan dalam bentuk
dukungan untuk meringankan beban biaya pendidikan. Orangtua biasanya menanggung
biaya bersekolah di SMP dan SMA, sementara biaya hidup anak selama belajar di
kota dibantu oleh masyarakat kampung atau keluarga di kota. Dukungan keluarga
besar Bentuk dukungan masyarakat kampung bagi keluarga yang anaknya menempuh
pendidikan tinggi bermacam-macam. Ada yang bergotong royong menanggung biaya
pendaftaran, pembelian sarana-prasarana, membayari biaya skripsi, biaya wisuda,
dan lainnya. Dukungan paling besar datang dari keluarga besar orangtua
masing-masing. Anak-anak yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi akan
menjadi kekuatan dan modal bagi masyarakat kampung dalam menjalankan dan
memperkuat spirit anu beta tubat. Mereka punya tanggung jawab lebih dalam
mengangkat anak-anak lain.
Kalau tanggung jawab itu tidak mereka jalankan,
masyarakat akan menempatkan mereka dalam barisan yang tidak berguna. SPIRIT ANU
BETA TUBAT memberi inspirasi tentang bagaimana kemiskinan dan lemahnya akses
kaum miskin atas pendidikan dapat diatasi. Pada saat negara tidak lagi menempatkan
pendidikan sebagai hak asasi—sehingga pemerintah kurang serius dalam
menjalankan komitmen untuk mewujudkan pendidikan bagi semua—masyarakat dapat
bahu- membahu mengembalikan pendidikan sebagai prioritas. Saat negara
kehilangan daya dalam memenuhi hak warga atas pendidikan, masyarakat dapat
berjibaku untuk secara bersama mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa
yang cerdas tidak akan dapat dicapai selama kaum miskin masih sulit mengakses
pendidikan. Kami membayangkan banyaknya kemajuan yang bisa kita capai sebagai
bangsa seandainya satu warga yang mampu secara ekonomi berkomitmen
menyekolahkan satu anak keluarga miskin. Kami yakin, sumber daya warga yang
terbatas apabila disatukan akan menjadi kekuatan yang dapat mengembalikan
bangsa ini sebagai bangsa yang punya masa depan. Masyarakat Maybrat di Papua
Barat telah membuktikannya.By.Chados.sangkek
1 Komentar untuk "PROSES PENDIDIKAN DI KALANGAN MAYBRAT"
memank pa ora ocong