NASIONALISME PENDIRI BANGSA

(lanjutan Bag 2)

Ensiklopedia popular, politik dan pembangunan pancasila, jilid III, mendefinisikan Nasionalisme sebagai paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat dan maju dalam satu kesatuan bangsa Negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabadikan identitas pesatuan, kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan negara kebangsaan yang bersangkutan (Ensiklopedia popular, politik dan pembangunan pancasila, jilid III. Yayasan cipta loka caraka hlm. 31).
Nasionalisme atau paham kebangsaan itu bisa disederhanakan sebagai semangat cinta bangsa dan cinta tanah air (patriotisme) memang mempunyai perwujudannya. Pada zaman masa revolusi untuk menegakkan negara bangsa, semangat kebangsaan terwujud jelas antara lain dengan mengangkat senjata mengusir musuh sebagai tentara atau suka relawan, (Sutarjo Adisusili, 1996 ; 1). Itu berarti sama seperti dikatakan Hans Kohn, dalam bukunya Nasionalisme Arti dan Sejarah mengemukakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara bangsa (Hans Khon,1984 ; 14).
Secara etimologis Nasionalisme berasala dari bahasa latin Natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran, dari kata Nasci yang berarti dilahirkan. Maka jika dihubungkan secara obyektif ada beberapa factor lahirnya nasionalisme, seperti bahasa, ras, agama, dan peradaban (zivilization), wilayah, negara, dan kewarganegaraan (Hansk Kohn, melalui Natalis, 2000; hal 14). Sedangkan Menurut Carton J. H. Hayes membagi dua factor penyebab lahir dan tumbuhnya nasionalisme pertama factor obyektif yang paling lazim dikemukakan adalah factor politik (penjajahan), factor social, factor ekonomi, factor budaya, dll. Kedua, factor subyktif, seperti Dogma, ide pemikiran, dll (J.H. Hayes, Adisusilo, 1998; 1). Factor-faktor lahir dan tumbuhnya nasionalisme dari waktu ke waktu dapat berubah, misalkan perubahan nasionalisme Indonesia, pada zaman prakemerdekaan berbeda dengan zaman kemerdekaan.
Di Indonesia nasionalisme prakemerdekaan tumbuh dan berkembang untuk melawan kolonial Belanda. Itulah sebabnya pada saat perjuangan kemerdekaan Indonesia semangat nasionalisme tidak terpisahkan dari kesadaran sejarah kaum terpelajar. Kaum tepelajar dan mahasiswa terus berjuang merubah pola perlawanan yang bersifat kedaerahan menjadi perlawanan secara bersama melalui berbagai organisasi yang dibentuk seperti, Budi Utomo dan lainnya. Puncak dari nasionalisme Indonesia terbentuk pada tahun 1928 dengan mengikrarkannya sumpah pemuda.
Papua Barat telah menjadi perdebatan Indonesia–Belanda. Aspek nasionalisme kebangsaan yang dipandang para elit politik pendiri bangsa ini di Jakarta dalam usaha mengintegrasikan Papua Barat adalah:

Pertama, dari aspek histories. Mereka menempatkan nasionalisme kebangsaan yang akan dibangun berdasarkan teritorial. Menurut Yamin dan Soekarno klaim teritorial atas Papua Barat, Malaya dan Pilipina karena alasan histories sebagai wilayah bagian dari kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai cikal bakal dari berdirinya Indonesia. Bisa dibilang ini kekeliruan karana Sriwijaya, Majapahit merupakan Negara tersendiri yang memiliki sistem pemerintahannya sendiri terlepas dari sistem pemerintahan modern yang dianut oleh Indonesia yang tidak lain adalah warisan moderenisasi.
Nasionalisme teritorial dalam sejarah perjuangan Indonesia tidak sepenuh hati menerima perjanjian Rom-royem, Renvile yang memperkecil wilayah yang Indonesia. Kemudian gagasan RIS dan Federal untuk Indonesia tidak memuaskan bagi elit politik yang pada saat itu berkuasa. Dalam Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) para elit politik Jakarta memandang semua daerah bekas Jajahan Belanda sebagai bagian dari NKRI. Pemikiran itu pernah diungkapkan Moh. Yamin yang kemudian akan ditanggapi oleh Moh. Hatta dengan mengatakan pemikikiran Yamin terkesan sangat imperialis. Soekarno membanta pendapat Hatta dengan berpandangan tidak hanya Papua dan Malaya, bahkan Sukarno secara teritorial menghendaki Pan Indonesia yang meliputi Pilipina, Malaya dan Papua, namun Pilipina telah merdeka lebih dahulu (Risalah BPUPKI, 1995: 148-152).
Nasionalisme teritorial yang dibangun oleh teori-teori Moh. Yamin dan Soekarno dalam Rapat Besar BPUPKI pada tanggal Juli 1945 menurut Mohamat Hatta tidak ada bedanya dengan dengan nasionalisme yang pernah dibangun Jerman Kultur und Boden sebagai dasar dari imperialisme yang dimajukan oleh Jerman meluap keluar dan mau menjajah Oosternritjk dan Cekoslovakia. Hatta lebih menekankan kepada forum agar mengajak para pemuda-pemudi berpikir realistis dan menghilangkan nafsu yang mau meluap keluar, mengubah tujuan menjadi meluap kedalam, membangun Negara dengan sebaiknya dan mempertahankan Negara dengan sehebat-hebatnya. Oleh karena itu Hatta berpendapat bahwa biarkan bangsa Papau dan Malaya diserakan kepada masyarakatnya sendiri. Hatta mengakui bahwa mereka juga punya hak untuk merdeka.

Kedua adalah nasionalisme yang dibangun atas aspek manusai di dalamnya yaitu seperti aspek sosio kulturnya. Moh. Yamin pernah membangun teori dalam rapat BPUPKI, mengatakan bahwa orang Papua Barat memiliki Ras yang sama dengan ras Melayu. Namun dibanta oleh Hatta. Dalam tulisan ini saya tidak perlu membahasnya, karena ini tidak mungkin seperti yang tampak pada ciri fisik antara kedua ras tersebut. Kecuali, sebagai penghuni dunia dan ciptahan Tuhan dilengkapi dengan akal sehat.

Selain dua hal di atas yang paling kuat nasionalisme elit Jakarta untuk mengintegrasikan Papua Barat adalah faktor EKONOMI. Papua Barat sangat kaya raya dengan luas wilayah sekitar 3 kali lebih dari pulau Jawa dan secara geogrfis berada diambang pintu gerbang Samudra Pasifik memiliki fungsi militer-politis sangat vital memiliki sumber kekayaan alam yang sangat berfariasi dengan kualitas dan kuantitas sangat potensial. Di bumi Papua Barat terdapat mineral seperti emas, timah, platina, biji besi, batu bara, minyak, kaolin dan juga uranium. Kekayaan hutan dan lautnya sangat banyak. Sehingga dapat dipahami selain mempunyai nilai ekonomis yang vital. Dengan alasan ekonomi inilah, elit politik Jakarta berkonspirasi dengan kapitalis (Amerika) dalam mengintegrasikan Papua Barat. Ini terbukti dengan kehadiran PT. Freeport pada tahun 1967 yang aneh, karena: Pertama, Papua belum sah menjadi bagian dari Indonesia, tetapi Soeharto telah meneken masuknya PT FI ke Erstberg. Kedua, PT FI telah masuk ke Erstberg jauh sebelum UU penanaman modal asing (PMA) Nomor 1 tahun 1967 itu disahkan. Berartikan, UU PMA itu dibuat memfasilitasi dan mempermulus PT FI.” Yang sampai saat ini merupakan sumber pendapatan Jakarta terbesar. Dan sumber penderitaan bagi orang Papua Barat.
Nasionalisme yang di bangun elit politik Jakarta itu tidak beda, sepeti ideologi komunis atau kapitalis yang menjadi agaman baru bagi masyarakat dunia disebarluaskan ke seluruh dunia. Sama seperti itu, nasionalisme Indonesia yang dibangun oleh elit politik Jakarta melalui sistem politik, ekonomi, pendidikan yang sentralisasi, juga melalui pelatihan serta kepemudaan dan simbol-simbol seperti bendera kebangsaan, bahasa nasional melalui pelatihan, organisasi kepemudaan, dan lainnya. Itu hanya sebatas hegemoni kekuasaan, untuk melakukan jawanisasi di Papua Barat. Sehingga bagi penduduk Papua Barat merupakan sesuatu yang baru tanpa tahu maknanya dan harus mengikutinya. Dengan begitu jelas sudah nasionalisme menjadi suatu dogma bagi masyarakat.
Nasionalisme yang dibangun oleh elit politik Jakarta mengedepankan militer tidak ada bedanya dengan penyatuan wilayah Nusantara yang pernah dilakukan oleh Patih Gajamada pada masa kerajaan Majapahit. Daniel Dhakidae pada bagian pengatar buku karya Benedict Anderson Imagined Communities menyebutkan dua kata yaitu Jaladi Mantri dalam arti sesungguhnya adalah Armada dan itu tidak lain dari ABRI. Ketika Trikora dikomandangkan padat tahun 1963 untuk merebut Papua Barat tidak lain yang lebih didahulukan adalah inovasi moliter dan mobilisasi social untuk membangun koloni baru di Papua Barat. Demi membangun koloni Indonesia di Papua, militer di kirim untuk membekuk semagat nasionalisme etis Papua (Melanesia) yang sedang terbangun. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa Belanda sudah tidak begitu kuat secara militer, kecuali polisi-polisi orang Papua Barat yang pro Belanda.
Kehadiran militer Indonesia sebagai pengembang nasionalisme teritorial yang dibangun elit politik Jakarta melakukan berbagai bentuk intimidasi secara fisik, seperti melakukan pembunuhan terhadap mereka yang pro Belanda ataupun yang bercita-cita membentuk Negara Bangsa sendiri. Penindasan mental, mental seperti usaha sentralisasi dalam aspek kehidupan dengan tujuan mematikan nasionalisme melanesia yang telah terbangun.


0 Komentar di "
NASIONALISME PENDIRI BANGSA
"