CIPRIW YANG MALANG (Terjadinya Pohon Kelapa)

Diceritakan kembali oleh Eulis Anggia Budiati

Pada zaman dahulu, di sebuah kampung yang terletak dihilir Sungai Fait, dari Pantai Safan, daerah Asmat, hiduplah sepasang suami istri yang berbahagia. Sang suami bemama Biwiripit, sedangkan istrinya bemama Teweraut. Mereka memiliki seorang anak yang sangat dikasihi dan dicintai bemama Cipriw. Cipriw adalah anak tunggal sehingga ia sangat dimanja. Sayangnya ia sangat penakut. Sifat penakut Cipriw inilah yang menggoreskan kisah tragis yang dalam.
Pada suatu hari yang cerah, mereka bertiga duduk-duduk dekat tungku sambil membakar sagu dan daging kasuari hasil buruan Biwiripit. "Cipriw, kau · anak laki-lakiku satu-satunya, kau tra boleh penakut. Kau sudah besar, kau harus mengganti bapak menjaga mama, menjaga kampung, dan kau juga harus menjadi pemburu yang tangguh di kampung ini." Begitulah Biwiripit menasihati Cipriw.

"Cipriw 'kan masih kecil. Jadi, ia masih penakut tra apa-apa." Tiba -tiba Teweraut membela. Cipriw hanya diam saja sambil tidur-tiduran di pangkuan ibunya.
"Cipriw sudah besar. Dulu aku sebesar itu sudah belajar berburu, membuat panah sendiri, belajar mengukir patung, dan aku disuruh tidur di rumah jevl dengan bapak.
Jangan kau terus bermanja-manja dengan ibumu!" Biwiripit menasihati lagi.
"Biarlah untuk beberapa hari lagi. Cipriw belum.tukup besar untuk tidur di jew." Kembali Teweraut menjawab.
"Itulah, kau selalu membelanya. Maka dari itu Cipriw penakut terus." Biwiripit agak marah. Kemudian ia meninggalkan istri dan anaknya untuk tidur di jew .
.. ~ .. t" .
Hari mufai malam. Para lelaki dewasa di kampung ini selalu berkumpul di jew. Istri-istri, anak-anak perempuan, dan anak laki-laki mereka yang masih kecil tidur di rumah mereka masing-masing. Cipriw si penakut selalu tidur dekat ibunya membungkus diri dengan tapin7

Rumah tinggal mereka cukup jauh dari jew. Di antara jew dan rumah tinggal mereka tumbuhlah sebatang pohon ucuwB. Semua penduduk kampung sangat yakin bahwa di dalam pohon ucuw tinggallah sepasang roh yang baik. Mengapa mereka menganggapnya baik? Dianggap baik karena roh tersebut tidak pemah mengganggu penduduk kampung. Bahkan, roh di pohon ucuw tersebut sering memberi pertolongan pada seisi kampung. Apalagi jika penduduk kampung ada yang meminta sesuatu, maka sudah pasti roh di pohon ucuw akan mengabulkan permintaan tersebut. Meskipun demikian, Cipriw, anak tunggal Biwiripit dan Teweraut, sangat takut kepada roh baik yang ada di pohon ucuw itu. Setiap kali hendak masuk ke dalam jew, Cipriw selalu berlari dari rumah kemudian masuk ke dalam tapin. Hal ini terjadi, baik pada waktu pagi hari maupun siang hari, terlebih pada waktu malam hari.
"Tewe, mulai besok anak kita harus tidur di jew.
Kamu tidak boleh melarangnya. Kalau kamu menahannya terus, artinya kamu melanggar adat. Kamu tahu 'kan akibatnya kalau kita melanggar adat?" kata Biwiripit tegas.
"Aku tahu, tapi anak kita ini sangat penakut. Apalagi kalau harus melewati pohon ucuw di depan jew itu," kata Teweraut.
"Justru karena penakut itulah dia harus belajar menjadi pemberani. Di jew anak kita akan mendapat pelajaran dari tua-tua adat supaya menjadi pemuda yang gagah berani. Aku malu jika punya anak penakut." kata Biwiripit menambahkan lagi.
"Yah, terserah kamulah." Teweraut akhimya mengalah.
•Nanti malam aku akan ajak Clpriw tidur di jew.
Awas, kamu tidak boleh menghalang-halanginya lagi! Paham Tewe?"Teweraut hanya mengangguk.
Dia tidak dapat membantah lagi karena dia tahu hukum adat di kampungnya memang demikian. Jika dia membantah, dia akan dihukum beserta anaknya. Tanpa bicara lagi, Teweraut berjalan ke dapur untuk menyalakan tungku. Dia akan membuat sagu dan daging bakar untuk bekal Cipfiw di jew.

Mulai hali itu, Biwifipit melarang Cipfiw tidur dengan ibunya. Sebagai anak yang sudah cukup umur, Cipfiw sudah harus tidur di jew bersama laki-laki dewasa lain. Namun sayang, Cipliw selalu tidur lebih awal dafi teman-temannya. Ketika gelap mulai turun Cipriw berbaring lebih dulu sambil membungkus diri di dalam tapin. Ia tidak berani tidur sendifi. Ia selalu berada di antara orang banyak.

Cipriw selalu tidur lebih awal sehingga ia hampir tidak pemah mengikuti pelajaran yang dibefikan oleh tuatua adat pada malam hari menjelang tidur sambil dudukduduk melingkari bara api di tengah-tengah jew. Saat-saat seperti itu, ketua adat akan bercerita tentang kejayaankejayaan nenek moyang mereka dalam peperangan, dongeng-dongeng atau legenda-legenda rahasia tentang nenek moyang yang tidak boleh tersebar ke suku lain. Di jew pula orang-orang tua mengajarkan orang-orang muda tentang teknik berperang, merencanakan pembalasan kepada suku la in atau pengayauan. Sekali-kali tetua adat juga mengajari anak-anak muda tentang tata cara memahat patung, membuat patung mbis, membuat panah, dan bagaimana cara menggunakannya. Pendek kata, di dalam jew anak muda diajar agar tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, gagah berani, dan siap melindungi kampungnya bila diserang oleh kampung lain.

Ternyata, kelakuan Cipriw yang selalu tidur lebih awal karena takut kepada roh yang tinggal di pohon ucuw tidak luput dari perhatian roh tersebut. Roh ucuw terus mengamati tingkah laku Cipriw yang penakut. Entah karena apa, roh ucuw yang baik itu sangat jengkel dan merasa tersinggung dengan kelakuan Cipriw. Roh itu tidak habis pikir mengapa Cipriw sangat takut kepadanya, sementara penduduk kampung sangat menghormati dan mengaguminya sebagai roh yang baik dan roh yang selalu mengabulkan segala permintaan mereka.
"Mengapa anak ini selalu takut kepadaku? Padahal, penduduk yang lain di kampung ini menganggap aku sebagai roh baik. Aku selalu mengabulkan permintaan mereka. Awas, suatu saat nanti kau akan aku ambil dan akan aku bunuh!" Begitu kata roh ucuw dalam hatinya.

Mata pencaharian penduduk di kampung hilir Sungai Fait adalah berburu di hutan. Banyak binatang buruan di belantara hutan Asmat. Hasil buruan mereka lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Begitu pula, setiap hari ayah Cipriw sangat sibuk berburu babi, kasuari, dan binatang hutan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Setiap kali Biwiripit pergi berburu, ia selalu mengajak Cipriw dengan maksud agar Cipriw mau melihat dan belajar tentang cara berburu yang baik. Sayangnya, karena Cipriw penakut, ia tidak mau jauh-jauh dari ayahnya ketika sedang berburu. Ia selalu berada tepat di belakang ayahnya. Ke mana ayahnya melangkah, Cipriw selalu mengikutinya.
"Cipriw, coba kau halau babi yang ada di sebelah kanan!" perintah Biwiripit.
"Aduh, Bapak. .. jangankah? Aku takut kalau harus berjalan sendirian ke sana. Di hutan ini pasti banyak roh." kata Cipriw ketakutan.
"Cipriw, kalau kau terus-terusan penakut begini, bagaimana kau bisa menjadi pemuda yang gagah berani?" kata Biwiripit marah.

"Tapi... Bapak, aku memang takut. Aku tidak berani ke sana sendirian," kata Cipriw. Ia merasakan kakinya mulai kaku. Dia tidak mampu lagi mengangkat kakinya. Dia gemetar dan akhimya jatuh pingsan karena ketakutan.

Melihat kondisi anaknya yang jatuh pingsan ketakutan, Biwiripit pun tidak berani memaksa anaknya lagi untuk berburu sendirian. Bagaimanapun Biwiripit teramat kasih kepada anak tunggalnya itu. Setiap kali Biwiripit pulang berburu, ia selalu membawa hewan buruan ke jew terlebih dahulu. Cipriw selalu ber1ari cepat-cepat memasuki jew karena-ia takut melewati pohon ucuw yang_ ada rohnya.
Cipriw akan cepat-cepat berlari, kemudian menyembunyikan diri dalam gulungan tapin. Ia selalu begitu, sementara roh ucuw terus mengarnatinya. Roh ucuw semakin tersinggung dan marah melihat tingkah laku Cipriw.

"Awas, kalau beberapa hari lagi Cipriw masih takut padaku, dia akan aku bunuh!" Begitu roh ucuw merencanakan suatu pembunuhan. Tapi sebaiknya aku akan memberi peringatan terlebih dahulu." Bisiknya dalam hati.

Pada suatu malam yang sunyi, roh ucuw masuk ke dalam jew. Dengan hati-hati ia mengambil Cipriw beserta tapin yang melingkari tempat Cipriw menyembunyikan dirinya dari roh ucuw. Cipriw dibawanya ke tepi Pantai Safan dan diletakkan begitu saja bersama tapinnya di pinggir pantai. Roh ucuw pun kembali ke pohon ucuw.

Keesokan paginya, ketika mentari mulai menampakkan dirinya, Cipriw terjaga karena merasa kedinginan diterpa angin laut. Ketika ia betul-betul terjaga, Cipriw merasa sangat terkejut dan heran bukan kepalang karena mendapati dirinya telah berada di tepi pantai, bukan di dalam jew, tempat ia biasa berbaring menjelang tidur bersama teman-teman dan bapaknya. Melihat kenyataan ini, Cipriw sangat ketakutan. Ia lari terbirit-birit kembali ke dalam jew lalu membangunkan bapak dan teman-temannya yang masih terlelap dalam mimpi. Namun, bapak dan teman-temannya tidak ada yang terjaga. Mereka masih lelap karena tidur sangat larut. Tadi malam mereka asyik mendengarkan cerita tentang pengayauan yang dilakukan nenek moyang dalam pembalasan ke kampung sebelah.

Akhimya, Cipriw membungkus dirinya kembali dengan tapin seperti semula. Roh pohon ucuw melihat bahwa Cipriw telah kembali dengan selamat. Roh ucuw pun sangat geram.
"Oh, awas Cipriw, kali ini aku akan membunuhmu!"begitu bisiknya dalam hati. Roh uruw pun segera masuk ke bawah kolong jew dengan membawa panah. Dengan penuh amarah roh ucuw menusuk Cipriw dengan anak panah tepat di pelipis kiri tembus hingga di pelipis kanan. Seketika Cipriw si penakut itu pun tewas. Roh ucuw pun tidak mencabut anak panah itu sehingga Cipriw terkapar dengan anak panah masih tertancap di pelipisnya. Sementara hari semakin siang. Sinar mentari terang benderang menyinari perkampungan hilir Sungai Fait. Semua orang yang tertidur telah terjaga dari mimpinya.

Mereka mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang mengasah panah, ada yang membuat bara api untuk membakar daging babi sisa tadi malam, ada yang mengambil air, dan ada pula yang mem ahat menyelesaikan ukiran patung mbis pesanan keluarga yang meninggal. Di antara kesibukan itu yang belum terjaga hanya Cipriw. Oleh
karena itu, salah seorang membangunkan Cipriw tanpa membuka tapin yang membungkusnya terlebih dahulu.
"Cipria ... ! Cipria ... ! Buyumbutita ... !! Cipriw,
bangunlah!" Teriaknya, tetapi tidak ada jawaban dari Cipriw.
"Cipria ... ! Buyumbutita .. . ! Cipriw, eee bangun
sudah!" Ia kernbali berteriak sarnbil rnengguncang-guncang
Cipriw. Cipriw tetap terbaring tidak bergerak. Sekali lagi
Cipriw dibangunkan. "Buyurnbutita ... ! Buyumbutita ... !
Cipria ... ! Bangun sudah!" Begitulah ia berteriak rnernbangunkan Cipriw, tetapi tidak ada tanda bahwa Cipriw rnendengarkan suara itu. lsi tapin tetap terdiam dalarn kaku yang dingin.

Ternannya merasa heran dan pena saran. Tidak seperti biasa Cipriw tidur sarnpai sesiang ini. Biasanya Cipriw bangun lebih awal dari ternan-temannya karena ia tidur lebih awal pula. Dengan rasa penasaran segera dibukalah tapin Cipriw.

"Roh yang Agung, tolong ... !" Ia berteriak terkejut dan sangat ketakutan ketika mengetahui Cipriw telah terbujur kaku tanpa nyawa dengan anak panah menernbus pelipis kirinya hingga ternbus ke pelipis kanan.
"Tua adat.bapak... ternan-ternan .. , toloooong.... Cipriw telah rneninggal!" Dia berteriak sekencang-kencangnya rnernanggil tua-tua adat, bapak Cipriw, dan ternanternannya yang ada di jew. Sekali lagi ia berteriak rnernanggil orang-orang yang ada di jew untuk rnenyaksikan keadaan Cipriw. Orang tua Cipriw yang sudah ada di rurnahnya dipanggil. Keduanya dengan tergesa-gesa pergi rnenujujew.

Meledaklah tangis Biwiripit dan Teweraut ketika rnereka rnendapati anak tunggalnya sudah terbujur kaku meni~alkan semua yang diclntainya dengan cara mengenaskan. Mereka berguling-guling melumuri diri dengan lumpur. Demikian pula dengan penduduk lain. Seisi kampung larut dalam duka teramat dalam.
"Ini pembunuhan yang menuntut balas dengan pengayauan." Begitu bis.ik hati mereka. Hari itu merupakan hari berkabung bagi keluarga Cipriw yang malang.

Senja pun datang menghampiri. Matahari tergelincir di langit sebelah barat, seolah-olah dalam cahaya pucat yang suram ikut berduka bagi Cipriw yang mati mengenaskan. Melalui proses adat Cipriw diantar ke tempat pembaringan kemudian dikuburkan di jewsen9 dengan anak panah yang masih tetap tertancap di pelipis kirinya yang menembus pelipis kanan. Panah itu tidak dicabut, terkubur bersama jasad Cipriw yang malang.

Pada malam hari ketika kampung telah sunyi, tiba-tiba timbul keajaiban yang kelak mengukir sejarah. Sebuah legenda telah hadir. Tumbuhlah se batang pohon aneh tepat di atas kuburan Cipriw. Pohon tersebut tumbuh sangat subur dan berbuah sangat lebat. Batangnya besar dan kokoh serta buahnya pun besar-besar. Keesokan harinya, ketika orang orang terjaga, mereka sangat heran dan . sa ling bertanya satu sama lain perihal tumbuhnya pohon aneh di atas kuburan Cipriw.
"Teweraut, lihatlah keajaiban apa yang terjadi di atas kuburan anak kita!" Kata Biwiripit sambil menunjuk ke arah pohon aneh.
"Entahlah Biwi, aku pun tidak tahu." Teweraut pun sangat bingung.
"Apakah ini berarti roh nenek moyang kita telah
menerima Cipriw di alam sana, Tewe?" Kata Biwiripit
meminta persetujuan istrinya.
"Ya, Biwi. Cipriw adalah anak yang baik. Nenek moyang pasti menerimanya.
" Teweraut mempertegas pendapat suaminya.
"Kira-kira apakah nama pohon ini?" Tiba-tiba penduduk kampung bertanya-tanya.
"Entahlah, pohon ini aneh. Seumur hidup aku baru melihatnya."
" Seorang tua adat menjawabnya.
"Apakah orang dapat memakan buahnya?"" pertanyaan lain muncul.
"Tidak tahu juga. Pohonnya saja baru kita lihat." seseorang menjawab dari belakang.

Pagi itu juga semua candiwis10 dan puwasl1 berkumpul di depan jew mengelilingi pohon aneh yang berbuah lebat. Seseorang ada yang berani memetik buah itu, lalu mengupas kulitnya. Air yang berada dalam buah itu awalnya dilberikan -kepada_ seekor anjing. Temyata, anjing yang memrnum air buah ltu tetap hidup. Selanjutnya, daging buah itu juga dicobakan kepada anjing, juga tidak mati. Akhirnya, semua penduduk kampung memetik buah itu dan memakannya. Namun, tak seorang pun tahu apa nama pohon aneh itu. Ketika mengupas kulit buah, mereka mengamati isi di dalamnya. Tampaklah seperti garis mata, murut, dan hidung Cipriw. Mereka berkeyakinan bahwa pohon ini jelmaan dari Cipriw.

Suatu hari orang tua Cipriw, Biriwit dan Tewe raut, bermimpi. Dalam mimpinya mereka mendapat pesan untuk menamakan pohon itu jisin yang artinya pohon kelapa.

Adapun buahnya bernama akyamanmak, artinya buah yang berasal dari orang mati. Pagi harinya Biwiripit dan Teweraut mengabarkan kepada seluruh warga kampung.

"Saudara-saudaraku penduduk kampung, tadi malam kami bermimpi yang sama." Begitu Biwiripit mulai berbicara.

"Apa yang ada dalam mimpimu, Biwi?n seorang penduduk kampung menyela dengan tidak sabar.

"Dalam mimpi kami mendapat pesan bahwa pohon aneh berbuah lebat yang tumbuh di atas kuburan Cipriw haruslah diberi nama jisin dan buahnya bemama akyamanmak, artinya buah yang berasal dari orang mati.n begitu Biwiripit menyampaikan isi mimpinya.

"Baiktah, mulai sekarang pohon aneh inr kita namakan jisin dan buahnya kita namakan akyamanmak karena memang berasat dari jasad Cipriw." kata ketua adat menegaskan.

Sejak saat itu, pohon aneh tumbuh pada · banyak tempat di Asmat dan orang-orang Asmat menyebutnya pohon jisin atau pohon kelapa.

(Sumber 10 Cerita Rakyat Papua Terpilih - Kementrian Pendidikan Nasional)
0 Komentar di "CIPRIW YANG MALANG (Terjadinya Pohon Kelapa)"