Diceritakan kembali' oleh Emik Puji Utami
Zaman dahulu kala di sebuah hutan yang sang at lebat, hiduplah seorang kakek bersama dua ekor anjing dalam sebuah befa~. Ia tinggal seorang diri karena ia adalah orang pertama yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah tersebut. Dua ekor anjing tersebut bernama Nggarembu, satu berwama belang dan yang satu lagi berwama hitam. Meskipun dua ekor, tetapi nama kedua anjing itu hanya satu, yakni Nggarembu. Kedua ekor anjing itu selalu menemani sang Tetel saat berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada suatu hari, Tete hendak pergi berburu karena persediaan makanan pada hari itu telah habis. Tete
memanggil Nggarembu untuk diajak berburu. Setelah memanggil berulang kali, Nggarembu tidak muncul-muncul juga. Akhimya, Tete mencari di sekitar befak. Namun, setelah sekian lama mencari dan tidak menemukan kedua ekor anjingnya Tete memutuskan untuk tidak berburu. Hari
itu Tete hanya makan sagu bakar tanpa ada lauk. Pada sore hari, kedua anjing milik Tete pulang dan perutnya terlihat mengembang menandakan bahwa kedua anjing itu telah kenyang.
Hari berikutnya, Tete terlambat bangun. Setelah bangun ia segera menyiapkan peralatan untuk berburu dan memanggil Nggarembu. Nggarembu datang dengan perut yang mengembang tanda sudah kenyang sehingga kedua anjing tersebut tidak dapat diajak untuk berburu. Tete merasa bingung dan kesal terhadap kedua anjing tersebut. Bagaimana anjing itu bisa kenyang padahal ia tidak memberinya makan dan di . hutan tersebut ia hanya hidup sebatang kara? Akhimya, masih dalam kebingungan Tete kembali makan sagu bakar saja.
Pertanyaan selalu muncul dalam benak sang Tete. "Mengapa kedua anjing itu sudah kenyang sebelum diberi makan oleh Tete?" Ternyata, tanpa sepengetahuan Tete, Nggarembu setiap pagi pergi ke hutan dan mendapatkan berbagai makanan yang berasal dari sekitar pohon waraJ yang berukuran sangat besar. Dari dalam pohon itulah Nggarembu memperoleh makanan yang berupa kotoran
manusia, sisa makanan, sagu, tulang-tulang yang masih terbalut sedikit daging yang telah dibakar.
Hal inilah yang membuat Nggarembu merasa kenyang dan malas untuk berburu lagi. Setelah kejadian beberapa hari itu, pagi-pagi sekali Tete bangun dan mulai mengamati kedua ekor anjingnya
yang masih tidur. ndak lama kemudian, kedua anjing itu terbangun dan segera berlari menuju pohon warak yang berada di tengah hutan. Tete segera mengikuti kedua anjingnya sambil berlari. Nggarembu mengetahui bahwa mereka sedang diikuti tuannya. Oleh karena itu, mereka berlari dengan cepat dan meninggalkan Tete jauh di belakang. Kemudian kedua anjing itu segera berhenti untuk menunggu Tete. Nggarembu sebenamya ingin memberitahukan kepada tuannya tetang keberadaan pohon warak yang berisi manusia tersebut. Itulah saat yang paling tepat menurut Nggarembu berdua.
Setelah menjelajahi hutan rimba yang lebat dan cukup menguras tenaga, tibalah Nggarembu di bawah pohon warak. Nggarembu menoleh ke belakang, tetapi Tete masih tak terlihat di belakang. Sambil terengah-engah, Tete baru menyadari bahwa dalam hutan itu ada jalan setapak yang telah dibuat oleh Nggarembu. Jalan setapak itu menjadi licin dan tampak seperti banyak orang yang lalu-lalang. Padahal, yang membuat adalah Nggarembu yang mondar-mandir setiap pagi untuk mengambil makanan dari ba~ah pohon warak tersebut.
Ketika Tete memasuki jarak sekitar seratus meter dari pohon warak, Tete mulai mendengar suara gaduh yang ditimbulkan oleh suara orang-orang yang berada dalam pohon. Sekonyong-konyong Tete menghentikan larinya dan memasang telinga dengan cermat. "Heh ... , suara apa ini? Di hutan ini kan hanya aku seorang yang tinggal. Mengapa ada suara gaduh berasal dari pohon itu?" Tete berpikir
keheranan. Tete kemudian berjalan mendekat ke arah pohon warak. Ternyata, pendengaran Tete benar, suara gaduh itu adalah suara orang yang be rasa I dari dalam pohon warak. "Wah, ini tidak bisa dibiarkan. Ini adalah tanah kekuasaanku. Mengapa ada orang lain yang tinggal di sini tanpa sepengetahuanku?" Tete membatin., "Aku akan mengusir mereka", kata Tete sambil memutar arah kembali ke befaknya.
Tete berlari kencang menuju befaknya untuk mengambil peralatan perang, busur, panah, dan tombak.
Tete tidak lupa menghias diri dengan memberikan pewama pada wajah dan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa Tete tengah marah dan bersiap untuk berperang. Setelah selesai mempersiapkan diri dengan sempuma, Tete kembali menuju hutan untuk membuat perhitungan dengan orangorang yang ada di dalam pohon warak. Menurut Tete, orang-orang yang berada dalam pohon tersebut tidak memiliki sopan santun karena mereka menginap di wilayah kekuasaan Tete tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Sesampainya di dekat pohon warak, Tete berhenti dan memperhatikan kembali suara gaduh yang berasal dari dalam pohon. Melihat tuannya datang, Nggarembu berlari mengelilingi pohon warak sambil terus menggonggong. Tete kemudian mendekat dan mengintip ke dalam pohon. Ternyata, pohon warak itu seperti gedung bertingkat, tiap tingkat dihuni oleh satu suku bangsa yang ada di Merauke. Setelah puas melihat-lihat, Tete kemudian membongkar pintu pohon tersebut dan menyuruh semua penghuni dalam pohon tersebut keluar:
Manusia yang berada dalam pohon itu telah keluar semua. Tete memerintahkan mereka berkelompok berdasarkan tingkatan tempat tinggal mereka. Setelah itu, Tete memarahi mereka karena telah lalai tidak memberi tahu Tete tentang keberadaan mereka di dalam pohon yang berada di tanah ulayat milik Tete. Kelompok manusia itu meminta maaf kepada Tete dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing. Tete mengerti semua bahasa yang dimiliki oleh manusia penghuni pohon tersebut."Kalian tidak memiliki sopan santun. Aku memaafkan kalian, tetapi dengan satu syarat, mulai sekarang kalian harus pergi dari tanah ulayatku!" kata Tete memarahi mereka.
"Kalian, orang-orang yang tinggal di pohon paling bawah, kalian satu bahasa dengan aku maka kalian boleh tinggal bersamaku di wilayah ini!" kata Tete sambil menunjuk pasangan yang tinggal di pohon paling bawah.
"Kalian yang tinggal di tingkat dua, kalian memang satu suku denganku tapi bahasa kalian memiliki sedikit perbedaan. Jadi, kalian tinggal di daerah Yanggandur!""
"Selanjutnya, wahai pasangan yang tinggal ditingkat tiga, kalian memakai bahasa Smarki Puney. Tempat tinggal kalian sekarang adalah Kampung Yerew!5
"
"Kalian yang tinggal di tingkat empat pohon warak ini, kalian tidak memiliki kesamaan bahasa denganku. Kalian termasuk suku terasing. Nama suku kalian adalah Morori/Maraori. Kalian harus tinggal di Kampung Wasur!" Tete melanjutkan perkataannya.
Kemudian Tete kembali berkata, "Kalian yang memakai tempat sirih, kalian sebenarnya dua suku, karena bentuk tubuh kalian berbeda. Kalian yang berbadan tinggi besar, kalian adalah suku Marind. Bahasa yang kalian pakai adalah bahasa Maru/Malind. Tempat tinggal kalian adalah di pesisir pantai, yaitu Pantai Samkai, Nasem, Ndalir, dan Onggaya. Lalu kalian yang bertubuh kecil dan pendek, kalian sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan aku dan suku Marind. Oleh karena itu, tempat tinggal kalian adalah di Kimaam", Tete terus saja berkata.Terakhir, tete berbicara dengan kelompok orangorang yang berada di tingkat paling atas dari pohon warak ltu. "Kalian suku Yei, tempat tinggal kalian adalah di seberang Kali Maro. Pergilah ke sana dan hiduplah dengan damai!"
Sejak saat itu, suku-suku bangsa yang ada di Merauke menempati daerah-daerah yang telah ditetapkan oleh Tete. Mereka hidup damai dan memiliki hak ulayat yang luas. Sampai saat ini tidak seorang pun yang tahu siapa nama Tete yang pertama diciptakan oleh Yang Maha Kuasa tersebut. Akan tetapi, menurut cerita · marga Ndikwan, merekalah keturunan Tete yang masih ada sampai saat ini.
(Sumber 10 Cerita Rakyat Papua Terpilih - Kementrian Pendidikan Nasional)
Zaman dahulu kala di sebuah hutan yang sang at lebat, hiduplah seorang kakek bersama dua ekor anjing dalam sebuah befa~. Ia tinggal seorang diri karena ia adalah orang pertama yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah tersebut. Dua ekor anjing tersebut bernama Nggarembu, satu berwama belang dan yang satu lagi berwama hitam. Meskipun dua ekor, tetapi nama kedua anjing itu hanya satu, yakni Nggarembu. Kedua ekor anjing itu selalu menemani sang Tetel saat berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Marind-Anim men dressed for ceremony, south coast Dutch New Guinea. c 1920s -https://en.wikipedia.org/wiki/Marind_people |
Pada suatu hari, Tete hendak pergi berburu karena persediaan makanan pada hari itu telah habis. Tete
memanggil Nggarembu untuk diajak berburu. Setelah memanggil berulang kali, Nggarembu tidak muncul-muncul juga. Akhimya, Tete mencari di sekitar befak. Namun, setelah sekian lama mencari dan tidak menemukan kedua ekor anjingnya Tete memutuskan untuk tidak berburu. Hari
itu Tete hanya makan sagu bakar tanpa ada lauk. Pada sore hari, kedua anjing milik Tete pulang dan perutnya terlihat mengembang menandakan bahwa kedua anjing itu telah kenyang.
Hari berikutnya, Tete terlambat bangun. Setelah bangun ia segera menyiapkan peralatan untuk berburu dan memanggil Nggarembu. Nggarembu datang dengan perut yang mengembang tanda sudah kenyang sehingga kedua anjing tersebut tidak dapat diajak untuk berburu. Tete merasa bingung dan kesal terhadap kedua anjing tersebut. Bagaimana anjing itu bisa kenyang padahal ia tidak memberinya makan dan di . hutan tersebut ia hanya hidup sebatang kara? Akhimya, masih dalam kebingungan Tete kembali makan sagu bakar saja.
Pertanyaan selalu muncul dalam benak sang Tete. "Mengapa kedua anjing itu sudah kenyang sebelum diberi makan oleh Tete?" Ternyata, tanpa sepengetahuan Tete, Nggarembu setiap pagi pergi ke hutan dan mendapatkan berbagai makanan yang berasal dari sekitar pohon waraJ yang berukuran sangat besar. Dari dalam pohon itulah Nggarembu memperoleh makanan yang berupa kotoran
manusia, sisa makanan, sagu, tulang-tulang yang masih terbalut sedikit daging yang telah dibakar.
Hal inilah yang membuat Nggarembu merasa kenyang dan malas untuk berburu lagi. Setelah kejadian beberapa hari itu, pagi-pagi sekali Tete bangun dan mulai mengamati kedua ekor anjingnya
yang masih tidur. ndak lama kemudian, kedua anjing itu terbangun dan segera berlari menuju pohon warak yang berada di tengah hutan. Tete segera mengikuti kedua anjingnya sambil berlari. Nggarembu mengetahui bahwa mereka sedang diikuti tuannya. Oleh karena itu, mereka berlari dengan cepat dan meninggalkan Tete jauh di belakang. Kemudian kedua anjing itu segera berhenti untuk menunggu Tete. Nggarembu sebenamya ingin memberitahukan kepada tuannya tetang keberadaan pohon warak yang berisi manusia tersebut. Itulah saat yang paling tepat menurut Nggarembu berdua.
Setelah menjelajahi hutan rimba yang lebat dan cukup menguras tenaga, tibalah Nggarembu di bawah pohon warak. Nggarembu menoleh ke belakang, tetapi Tete masih tak terlihat di belakang. Sambil terengah-engah, Tete baru menyadari bahwa dalam hutan itu ada jalan setapak yang telah dibuat oleh Nggarembu. Jalan setapak itu menjadi licin dan tampak seperti banyak orang yang lalu-lalang. Padahal, yang membuat adalah Nggarembu yang mondar-mandir setiap pagi untuk mengambil makanan dari ba~ah pohon warak tersebut.
Ketika Tete memasuki jarak sekitar seratus meter dari pohon warak, Tete mulai mendengar suara gaduh yang ditimbulkan oleh suara orang-orang yang berada dalam pohon. Sekonyong-konyong Tete menghentikan larinya dan memasang telinga dengan cermat. "Heh ... , suara apa ini? Di hutan ini kan hanya aku seorang yang tinggal. Mengapa ada suara gaduh berasal dari pohon itu?" Tete berpikir
keheranan. Tete kemudian berjalan mendekat ke arah pohon warak. Ternyata, pendengaran Tete benar, suara gaduh itu adalah suara orang yang be rasa I dari dalam pohon warak. "Wah, ini tidak bisa dibiarkan. Ini adalah tanah kekuasaanku. Mengapa ada orang lain yang tinggal di sini tanpa sepengetahuanku?" Tete membatin., "Aku akan mengusir mereka", kata Tete sambil memutar arah kembali ke befaknya.
Tete berlari kencang menuju befaknya untuk mengambil peralatan perang, busur, panah, dan tombak.
Tete tidak lupa menghias diri dengan memberikan pewama pada wajah dan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa Tete tengah marah dan bersiap untuk berperang. Setelah selesai mempersiapkan diri dengan sempuma, Tete kembali menuju hutan untuk membuat perhitungan dengan orangorang yang ada di dalam pohon warak. Menurut Tete, orang-orang yang berada dalam pohon tersebut tidak memiliki sopan santun karena mereka menginap di wilayah kekuasaan Tete tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Sesampainya di dekat pohon warak, Tete berhenti dan memperhatikan kembali suara gaduh yang berasal dari dalam pohon. Melihat tuannya datang, Nggarembu berlari mengelilingi pohon warak sambil terus menggonggong. Tete kemudian mendekat dan mengintip ke dalam pohon. Ternyata, pohon warak itu seperti gedung bertingkat, tiap tingkat dihuni oleh satu suku bangsa yang ada di Merauke. Setelah puas melihat-lihat, Tete kemudian membongkar pintu pohon tersebut dan menyuruh semua penghuni dalam pohon tersebut keluar:
Manusia yang berada dalam pohon itu telah keluar semua. Tete memerintahkan mereka berkelompok berdasarkan tingkatan tempat tinggal mereka. Setelah itu, Tete memarahi mereka karena telah lalai tidak memberi tahu Tete tentang keberadaan mereka di dalam pohon yang berada di tanah ulayat milik Tete. Kelompok manusia itu meminta maaf kepada Tete dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing. Tete mengerti semua bahasa yang dimiliki oleh manusia penghuni pohon tersebut."Kalian tidak memiliki sopan santun. Aku memaafkan kalian, tetapi dengan satu syarat, mulai sekarang kalian harus pergi dari tanah ulayatku!" kata Tete memarahi mereka.
"Kalian, orang-orang yang tinggal di pohon paling bawah, kalian satu bahasa dengan aku maka kalian boleh tinggal bersamaku di wilayah ini!" kata Tete sambil menunjuk pasangan yang tinggal di pohon paling bawah.
"Kalian yang tinggal di tingkat dua, kalian memang satu suku denganku tapi bahasa kalian memiliki sedikit perbedaan. Jadi, kalian tinggal di daerah Yanggandur!""
"Selanjutnya, wahai pasangan yang tinggal ditingkat tiga, kalian memakai bahasa Smarki Puney. Tempat tinggal kalian sekarang adalah Kampung Yerew!5
"
"Kalian yang tinggal di tingkat empat pohon warak ini, kalian tidak memiliki kesamaan bahasa denganku. Kalian termasuk suku terasing. Nama suku kalian adalah Morori/Maraori. Kalian harus tinggal di Kampung Wasur!" Tete melanjutkan perkataannya.
Kemudian Tete kembali berkata, "Kalian yang memakai tempat sirih, kalian sebenarnya dua suku, karena bentuk tubuh kalian berbeda. Kalian yang berbadan tinggi besar, kalian adalah suku Marind. Bahasa yang kalian pakai adalah bahasa Maru/Malind. Tempat tinggal kalian adalah di pesisir pantai, yaitu Pantai Samkai, Nasem, Ndalir, dan Onggaya. Lalu kalian yang bertubuh kecil dan pendek, kalian sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan aku dan suku Marind. Oleh karena itu, tempat tinggal kalian adalah di Kimaam", Tete terus saja berkata.Terakhir, tete berbicara dengan kelompok orangorang yang berada di tingkat paling atas dari pohon warak ltu. "Kalian suku Yei, tempat tinggal kalian adalah di seberang Kali Maro. Pergilah ke sana dan hiduplah dengan damai!"
Sejak saat itu, suku-suku bangsa yang ada di Merauke menempati daerah-daerah yang telah ditetapkan oleh Tete. Mereka hidup damai dan memiliki hak ulayat yang luas. Sampai saat ini tidak seorang pun yang tahu siapa nama Tete yang pertama diciptakan oleh Yang Maha Kuasa tersebut. Akan tetapi, menurut cerita · marga Ndikwan, merekalah keturunan Tete yang masih ada sampai saat ini.
###a.a.a.a.a.###
0 Komentar di "ASAL-USUL PERSEBARAN SUKU-SUKU DI MERAUKE"